Minggu, 04 November 2007

Merajut Cinta Dibawah Ancaman Kematian

Dia ramah dan energik. Begitu memasuki ruang cuci darah, ia sibuk menyapa perawat dan beberapa pasien. Sepintas, dia Iebih mirip seorang pengantar daripada penderita gagal ginjal. Padahal, ia telah memasuki tahun ketujuh, menjalani kehidupan yang tergantung pada mesin cuci darah. Selain ceria, secara fisik ia juga nampak segar, bahkan kulitnya pun masih kuning langsat. Boleh dibilang, kondisi seperti itu langka. Proses cuci darah secara terus menerus akan meninggalkan zat-zat tertentu yang menyebabkan kulit menjadi gelap.

Seperti hampir semua pasien lainnya, ia juga stres berat ketika divonis gagal ginjal tujuh tahun silam. “Dua tahun pertama harus cuci darah saya stres, belum bisa menerima kenyataan. Dunia terasa gelap, sempit. Tuhan tidak adil. Saya punya rencana, semua gagal karena sakit. Saya putus asa,” tutur Roslinawati pada Tarbawi.

Ros yang saat itu tinggal di Kalimantan, akhirnya kembali ke rumah onang tuanya di Jakarta untuk berobat. Ibu dan seluruh keluarga merawat Ros yang saking parahnya hingga ia tidak bisa berjalan, harus rnemakai oksigen 24 jam, dan keluar masuk rumah sakit. Kondisi tak berdaya itu membuat Ros marah pada semuanya, termasuk kepada Tuhan. Ia juga tidak mau bergaul, bahkan kesal bila melihat orang tertawa. “Saya benci pada din sendiri,” ucapnya.

Ros mengungkapkan, kemarahan dan penolakan atas penyakit itu malah memperburuk kondisiriya. Semakin memberontak, ia semakin sakit bahkan bernafas pun menjadi susah. “Saya jenuh, capek dengan pemberontakan yang tidak ada hasilnya. Saya berpikir, ya Allah, saya tidak bisa begini terus,” kenangnya.

Setelah dua tahun dalam peperangan melawan kenyataan, akhirnya Roslinawati sampal pada tahap penerimaan. Shalat tahajud dan membaca Al Qur’an menjadi katalisator kesadarannya. Pada Al Qur’an a menemukan ayat yang menyatakan, Allah tidak akan menguji umat-Nya di luar batas kemampuan. Pada shalat Tahajud ia menemukan ketenangan dan keyakinan, Allah yang paling tahu apa yang terbaik bagi umat-Nya, meski di mata manusia itu terlihat buruk. “Saya berusaha ikhlas. Sernakin jauh dari Allah, saya makin tersiksa. Ketika sudah pasrah ternyata saya menjadi tenang,” ujar-nya.

Kepasrahan itu kemudian membuka kesadaran-kesadaran lanjutan dalam diri Roslinawati. Ia merasa tidak enak telah merepotkan seluruh keluarga terutama ibunya. Apalagi adiknya menceritakan, ibunya sering menangis tanpa sepengetahuan Ros, sebab bila ia tahu, ibunya takut Ros menjadi makin sedih. Semua itu membuat Ros merasa bersalah. “Saya minta maaf dan bertanya, apa yang bisa membahagiakan Ibu. Saya sakit, tidak bisa memberi apa-apa lagi. lbu bilang, yang bisa membahagiakan Ibu kalau kamu sehat Itu saja,” kenangnya.

Sejak itu Roslinawati berjuang untuk sehat. Sempat juga Ia shock ketika pertama kali bercerrnin setelah dua tahun tidak berdandan. Di cermin itu, ia melihat badannya begitu kurus, kering, dan tua bagaikan nenek-nenek, hingga Ia sendiri pun menjerit kaget. Lagi-lagi, sang Ibu yang begitu tegar dan penuh cinta meyakinkannya. Tidak apa-apa, asal pikiran sehat, badan juga akan sehat.

Langkah pertama berjuang untuk sehat dan mandiri Ia wujudkan dengan berangkat ke tempat cuci darah sendirian. Ros yang semula harus diantar mobil bahkan digotong kini memilih naik ojek. “Saya yakin kalau berjalan untuk kebaikan pasti Tuhan melindungi. Di jalan istighfar terus, alhamdulillah sampai tujuan,” ujarnya.
Ros yang absen cukup lama dan kantornya pun kembali bekerja. Saking takutnya kalau sakit dan jatuh di jalanan, awalnya Ros membawa pembantu yang disuruhnya menunggu di lobby hingga saat pulang tiba. Pelan-pelan, semangat hidup mulai tumbuh, dan seiring dengan itu, tubuhnya makin sehat. Hati dan jiwanya mulai dipenuhi penerimaan dan keikhlasan, termasuk kesabaran melepas suami untuk wanita lain, karena lelaki yang telah memberinya dua putra itu tidak tahan hidup bersama istn yang sakit-sakitan.

Sejak itu, Ros mulai menata hidup dalam kesendirian dan tak sedetik pun terpikir untuk menikah lagi. Ia membangun ketenangan, selain dengan mendekatkan diri pada Allah, juga dengan melepaskan ambisi dan target yang dulu memenuhi angannya. Ia sadar, kini ia hidup dalam keterbatasan.

Satu-satunya target yang masih tersisa hanyalah menjalani hidup tanpa menyusahkan orang lain dan sebisa mungkin berguna di dunia ini. “Saya ingin di sisa hidup ini mendapatkan ketenangan lahir batin. Yang saya pikirkan hanya yang saya butuhkan. Selama Tuhan masih membeni nafas, saya harus tetap hidup yang sehidup-hidupnya, bukan hidup tapi mati. Hidup yang bermakna. Saya sakit tapi jiwa saya sehat,” tuturnya.

Acara. rutin cuci darah akhimya menjadi medan pertemuan Ros dengan Sigit Wismonugroho, lelaki yang kini menjadi suaminya. “Saya kenal karena cuci darah, sening bertemu. Tapi berpikir ke arah menikah awalnya merasa tidak mungkin karena kami sama-sama sakit. Orang sakit seperti saya, apa ada yang mau,” ujarnya.

Pertemuan demi pertemuan lama-lama mendekatkan keduanya. Mulai dan pertemuan di tempat cuci darah, ketika tanpa sengaja mereka mendapat tempat cuci darah yang bersebelahan, ikut seminar tentang ginjal, hingga menghadiri pernikahan suster yang merawat pasien gagal ginjal. Kedekatan kian erat ketika Sigit dirawat di rumah sakit dan Ros menengoknya. Sigit yang sendiriari karena baru saja ditinggal ibunya meninggal, mengundang iba dan sayang di hati Ros.

Saling berbagi cerita, akhimya kedua insan yang sama-sama pernah ditinggalkan pasangannya yang sehat ketika mereka divonis gagal ginjal itu merasa ingin membina hubungan lebih serius. Ros mengakui, awalnya belum saling jatuh cinta. Yang ada hanya rasa saling membutuhkan teman hidup. “Kalau Tuhan memberikan jodoh, tolong berikan yang terbaik. Saya tidak memilih, pokoknya yang terbaik di mata Allah,” ujarnya.

Niat kedua sejoli yang sama-sama sakit itu awalnya menimbulkan penolakan keluanga. “Orang sudah sakit, mengurus diri sendiri saja susah apalagi harus mengurus pasangannya, begitu kata keluarga saya,” uiar Ros. Di pihak keluarga Sigit pun, penolakan keluarga atas rencana pernikahan itu juga cukup serius. Sesungguhnya tidak masalah bila Sigit yang menduda itu ingin menikah, tapi mereka ingin Sigit mendapatkan mempelai yang sehat sehingga mampu merawat dirinya kelak. “Sigit bilang, orang sehat tidak ada yang mau sama dia. Justru karena sama-sama sakit, kami berdua saling mengerti,” paparnya.

Baik Ros maupun Sigit menyatakan, mereka berdua justru takut membina cinta dengan orang sehat. Rasa sakit ketika suami meninggalkan Ros dan pedih ketika istri meninggalkan Sigit masih segar dalam ingatan hingga keduanya khawatir, jangan-jangan orang sehat akan kernbali menyakiti hati mereka. Penolakan tak menghentikan langkah Sigit dan Ros menuju pelaminan. “Kalau memang dia jodoh saya, pasti perkawinan itu akan ada. Saya bilang, saya punya Tuhan yang akan melindungi asal niatnya karena Allah bukan karena nafsu saja. Saya tidak takut, saya jalani saja. Niat saya ibadah. Saya menolong suami yang sakit, suami bisa menolong saya yang sakitt tandas Ros.

Bagaimana pun, bila Tuhan berkehendak tak seorang pun dapat menahannya. Pernikahan yang awalnya mustahil bagi keduanya, akhirnya terlaksana, Ros menyatakan, ia bangga menikah dengan Sigit, lelaki yang menurut Ros sangat tabah menjalani cuci darah selama 14 tahun. “Yang paling saya cintai dari dia, semangat hidupnya, kesabarannya. Dia sakit, ditinggalkan istri, namun dia tetap bisa hidup mandiri, tetap bekerja, bahkan mampu merawat ibunya hingga meninggal dunia. Dia pasrah dan tenang menghadapi semuanya” ujar Ros.

Sigit mengakui, boleh dibilang keputusannya untuk menikahi Ros memang tindakan gila. “Kakak saya tidak setuju. Nanti kalau dua-duanya sakit bagaimana,” ujamya. Ia menceritakan, vonis gagal ginjal diterimanya ketika pernikahan dengan istri pertama baru sekitar empat bulan.

Seperti Ros, Ia pun sempat stres berat saat divonis harus cuci darah seumur hidup. “Saya belum bisa menerima. Setelah diberitahu, saya pulang. Cuaca sedang panas terik. Tapi saya kedinginan. Gemetar. Hidup sedang di puncak semangat. Baru saja menikah. Cita-cita sedang tinggi. Ketika divonis semua angan ambruk,” kenangnya.

Ketika sikap istrinya lama-lama berubah, dan akhirnya minta cerai, Sigit segera menyetujuinya karena sadar, sejak sakit memang ia tidak bisa mengimbangi keinginan istri. “Perawat bilang istri datang membawa laki-laki. Saya tanya, katanya tidak ada apa-apa. Tiga tahun kemudian dia minta cerai. Danipada saya dibohongin sakit hati, lebih cerai, jadi tidak kepikiran,” ucap-nya.

Sejak itu, Sigit mengerahkan segala daya untuk hidup mandiri, tentu dengan keterbatasan. Menikah lagi sama sekali tidak ada dalam benaknya. Saat itu, mengenang pernikahan identik dengan mengenang rasa disakiti orang yang dicintainya. Tapi Sigit tidak bisa mengelak dan kenormalannya sebagai lelaki. Sakit tidak mengikis habis kebutuhan untuk merniliki teman hidup, teman berbagi rasa.

Karenanya ia masih berharap, kalau ada orang mencintainya dia akan membalas cinta itu. “Temyata yang datang dalam hidup saya dia,” tutumya sambil menunjuk Ros.

Sigit yang fungsi ginjalnya tinggal sembilan persen itu mengenang, awalnya dia hanya merasa kasihan melihat Ros yang di awal pertemuan di tempat cuci darah terlihat kurus dan sakit parah. “Tahu-tahu bersebelahan waktu cuci darah. Tapi cuma sebentar. Terus seminar. Selesai acara, dia tidak langsung tapi ikut seminar sebuah MLM. Saya bilang, “ngapain sih, sudah mau mati masih ikut MLM. Itu hanya untuk orang sehat. Dia marah-marah” kata Sigit sambil tertawa terbahak-bahak.

Wajahnya terlihat bersinar dan geli ketika menceritakan Ros yang seolah tidak mau pulang kalau sedang menjenguknya di rumah sakit. Usut punya usut, temyata selain menengok karena simpati, Ros juga gencar memasarkan produk MLM yang diikutinya. ‘Saya dirayu beli produk pelembab kaki. Katanya, orang cuci darah kan kulitnya akan menghitam, makanya pakai produk jualannya supaya putih. Saya beli karena kasihan. Padahal dia sendiri pakai produk lain yang lebih murah,” tutur Sigit. lagi-lagi dengan tawa berderai.

Percaya diri dan gencar menawarkan dagangan, Ros yang di mata Sigit tergolong perempuan bernyali besar dan bermental baja itu, ketika hendak pulang mengaku tidak punya uang. Sambil tertawa, Sigit mengatakan Ia sering memberikan Ros ongkos untuk pulang.

Sigit mengungkapkan, ia menikah karena ingin hidup secara normal. Menurutnya, hidup sendiri itu tidak enak. Meski setelah menikah tanggungjawabnya lebih besar, karena kini ada seorang istri yang harus dilindungi serta frekuensi sakit yang kian sering karena keduanya bergantian diopname, tapi bagaimana pun Sigit merasa, pernikahan membuat hidupnya jauh lebih bahagia dan penuh warna. Kehadiran istri menjadi karunia besar dalam hidupnya. “Kalau sakit ada tempat mengeluh. Sekadar begitu saja sudah sangat membahagiakan,” ujarnya.

Meski sesungguhnya ada juga keinginan di hati.Sigit untuk memiliki keturunan dan darah dagingnya sendiri, tapi ia sadar, memiliki anak dalam kondisi seperti Ini tidak rasional karena kehamilan akan memperburuk kesehatan Ros.

Sadar hidup tak akan lama, Sigit yang fungsi jantungnya 70 persen dan Ros yang fungsi jantungnya tinggal 54 persen berkomitmen untuk tidak bertengkar karena hal itu hanya akan menyakiti dan membebani hidup yang mungkin tinggal sebentar saja.

Sigit dan Ros merasakan, betapa jauh lebih bahagianya pemikahan saat ini dibanding yang sebelumnya. Kondisi tubuh yang menurut perhitungan medis memang akan terus melemah justru memacu rnereka untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan seindah-indahnya. Berusaha menyempatkan waktu untuk selalu berduaan, bahkan saat cuci darah pun rnereka berusaha mendapat tempat tidur berdampingan. Sigit mengatakan, tiap hari mereka seperti orang berpacaran. Menjalani hidup tanpa pertengkaran, saling cinta, saling merawat, dan lebih dari itu, mereka tidak lagi memiliki ambisi dan keinginan muluk, selain hanya ingin menyelesaikan hidup di dunia tanpa menyusahkan orang lain.

“Setelah menikah, tidak pernah berpikir soal rencana ke depan karena sadar umur kami tidak akan lama. Cuma kita tidak tahu kapan tapi pasti tidak lama,” ujar Sigit yang kini jari-jari tangannya mulai melemah, tulang mulai kaku sehingga kalau shalat terpaksa harus duduk.

Membicarakan kernatian, bagi pasangan ini bukan hal tabu. Ros berkali-kali mengucapkan, meski dia hampir terbiasa melihat pasien gagal ginjal meninggal dunia, tapi ia merasa tidak bisa hidup lagi kalau tiba giliran Sigit untuk menghadap Yang Maha Kuasa. Namun Sigit yang nampak lebih rasional mengatakan, hidup harus terus dijalani, meski tentu sangat berat, kalau Ros yang pergi mendahuluinya. Bagaimana pun, toh Ia tidak bisa rneminta atau menunda kematian.

Kesadaran akan kian melemahnya tubuh, dan ancaman kematian yang terus membayangi hidup tak berarti mereka bercucuran air mata setiap waktu Bagi Ros, mencintai suami memberikannya kekuatan, memberinya kepercayaan. “Saya harus kuat karena saya cinta dia, saya ingin menolong dia. Ketika saya lemah saya merasa dicintai dan itu membuat saya percaya diri. Kami mencintai kelemahan masing-masing. Jadi tidak ada saling menyalahkan atau penyesalan. Yang timbul hanya rasa kasih dan sayang,” tutur Ros.

Kini Ros dan Sigit terus berusaha menjalani hidupnya dalam ketenangan. Pernikahan yang diterima sebagai karunia besar, berusaha mereka nikmati dan syukuri. Mereka saling mencintai nyaris tanpa tuntutan, ambisi, atau angan yang muluk, yang biasanya menjadi milik orang yang sehat dan juga menjadi sumber kegelisahan hidup.

Setengah bercanda, Sigit menyatakan. kini ia dan istnnya hanya ingin bersenang-senang. Menikmati honey moon di Bali atau Yogyakarta adalah satu-satunya keinginan yang masih ada dl hatinya, namun ia tidak tahu kapan terlaksana. “Hidup bersama dia sangat nyaman,” ucap Sigit lirih.

Kesadaran Sigit dan Ros menyongsong kematian, justru menyebabkan mereka sungguh-sungguh menghargai waktu, kehidupan, dan cinta kasih pasangan. Mencurahkan kasih dan perhatian selagi bisa, serta masih diberi kesempatan, dengan kualitas maksimal serta melepaskan hal sia-sia yang merusak ketenangan jiwa.

Gagal ginjal yang telah bertahun-tahun diderita bagaikan alarm yang terus menerus mendentangkan peringatan akan dekatnya kematian. Dan sepasang kekasih itu saling mengikatkan hati untuk menantinya dengan segenap doa dan keikhlasan.

Cara Membuat Nasi Gareng


Bahan-bahan yang dibutuhkan:
-Nasi
-Bawang
-Cabe
-Garam
-Telur
-Minyak goreng
-Penyedap rasa
Cara mengolah:

Pertama-tama masukkan minyak goreng kedalam penggorengan tunggu sampai mendidih, kemudian masukkan bawang beserta cabe yang telah diiris-iris tipis, tunggu sampai tercium harumnya yang berarti telah masak maka kita dapat melanjutkan ketahap berikutnya yaitu masukkan garam secukupnya, kemudian masukkan telur sambil dioseng-oseng agar telur hancur berantakkan dan tunggu sampai masak, kemudian masukkan nasi sesuai dengan yang diinginkan dan yang terakhir masukkan penyedap rasa agar rasa nasi goreng lebih nikmat untuk disantap. mantap!